Rabu, 30 Juli 2008

EMPAT DEKADE INDUSTRI PERTAMBANGAN INDONESIA

Penulis : Siti Maimunah


Freeport bilang, “Tanah ini milik negara, kami sudah beli dari negara.” Saya tanya, “Sejak kapan negara bikin tanah, air, ikan dan karaka lalu kasih saya sehingga dia boleh ambil seenaknya?” Mama Yosepha, Yamahak)

Ungkapan penuh makna diatas keluar dari mulut seorang perempuan pejuang dari suku Amungme di pegunungan tengah Papua Barat. Yoshepa Alomang namanya, Dia adalah salah seorang dari tujuh tokoh dunia yang menerima penghargaan Goldman Environmental Prize pada tahun 2001.

Ada nada marah dalam ungkapan Yoshepa. Betapa tidak, tanah yang tadinya milik komunal masyarakat adat Amungme, kini beralih menjadi wilayah pertambangan milik PT. Freeport Indonesia. Sungai yang tadinya bening kini rusak parah karena menjadi tempat buangan limbah perusahan itu. Dusun-dusun sagu yang menjadi sumber pangan bagi penduduk lokal mati tergenang rembesan air limbah. Belum lagi dampak lainnya seperti pelanggaran HAM, ketimpangan sosial, gangguan kesehatan dan lain sebagainya juga dirasakan penduduk yang tadinya hidup bersahaja. Sementara disisi lain, perusahaan asal Amerika Serikat itu menikmati keuntungan yang luar biasa besar dari tanah orang Amungme.
Yoshepa ternyata tidak sendiri. Di banyak tempat, daya rusak pertambangan skala besar terbukti menurunkan bahkan menghentikan keberlanjutan pelayanan alam, produktifitas rakyat hingga mengancam keselamatan mereka. Kasus buyat menjadi bukti tak terbantahkan bahwa pertambangan memiliki daya rusak. Tiga bulan sejak Newmont membuang 2000 ton limbah tailing setiap harinya ke teluk Buyat, Minahasa, Sulawesi Utara. Penghasilan nelayan menurun drastis, beberapa tahun berikutnya semakin banyak keluarga nelayan yang tak bisa bekerja karena mengalami sakit. Mulai tumor, sakit kepala akut, lumpuh hingga gangguan reproduksi perempuan. Beberapa dari mereka meninggal setelah sakit berkepanjangan.


Hak Menguasai Negara atas Bahan Tambang

Pengambilalihan urusan pertambangan dari komunitas dan atau organisasi kekuasaan lokal di nusantara untuk pertama kalinya terjadi pada tahun 1850. Pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan Mijn Reglement 1850 . Peraturan ini diberlakukan hampir di seluruh wilayah yang kini menjadi negara Republik Indonesia. Inilah satu instrumen hukum yang digunakan pemerintah kolonial Belanda mengambil alih, mengatur dan memanfaatkan bahan mineral bagi kepentingan ekonomi mereka. Dari sinilah pemerintah kolonial Belanda berhak memberikan konsesi kepada pihak swasta. Demi menjamin kepentingannya terhadap bahan tambang diwilayah jajahannya. Kepentingan itu seiring dengan perkembangan teknologi, khususnya teknologi transportasi yang menggunakan batu bara.

Lantas 39 tahun kemudian, pemerintah kolonial Belanda mengeluarkan Mijnwet 1899. Wet pertambangan ini dibuat Staten Generaal dengan Pemerintah di negeri Belanda. Sejak saat itu tampak bahwa pemerintah Hindia Belanda telah menempatkan negara pada posisi sentral mengurus pertambangan di wilayah jajahannya. Siapapun yang ingin menambang pada saat itu, haruslah dengan izin dari pemerintah. Izin diberikan dalam bentuk konsesi. Hal lain yang diatur oleh wet pertambangan itu adalah penggolongan bahan galian menjadi 2 golongan, tetapi secara tidak langsung terdapat pula bahan galian golongan ke-3, yaitu bahan galian yang tidak tercantum dalam pasal 1 Indische Mijnwet . Dalam hal ini walau tidak secara tegas, wet pertambangan saat itu telah menentukan kewenangan pemerintah berdasarkan jenis bahan galian yang penting dan tidak penting. Dimana untuk bahan galian yang penting, kewenangaan pemberian konsesi ada ditangan pemerintah pusat. Kata penguasaan negara atas sumberdaya pertambangan pada periode tersebut dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan pemerintahan kolonial Belanda. Jalan yang ditempuh adalah memasukkan para pemodal besar untuk melakukan eksploitasi besar-besaran sesuai dengan teknologi yang ada pada saat itu.

Pengurusan sektor pertambangan umum ini sama sekali tak berubah hingga 68 tahun kemudian saat terbitnya UU No 11 tahun 1967 tentang Pokok-Pokok Pertambangan Umum. Bahkan kemana arah pengelolaan sektor pertambangan Indonesia saat itu dengan gamblang diarahkan oleh UU No 1 tahun 1967 tentang penanaman Modal Asing. Beberapa bulan setelah UU PMA disahkan, pemerintah melakukaan penandatanganan Kontrak Karya generasi pertama dengan PT Freeport Indonesia. Barulah kemudian UU No 11/ 1967 disahkan. Sehingga jangan heran jika pertambangan PT Freeport begitu kental mewarnai arah kebijakan sektor pertambangan di Indonesia.


Daya Rusak Pertambangan

Tak dipungkiri, pertambangan memberikan pendapatan bagi negara dan juga pemerintah daerah. Tetapi yang lebih tak terbantahkan adalah bagaimana daya rusak sektor ini berkontribusi terhadap pemiskinan di sekitar kawasan pertambangan. Kegiatan pertambangan (baik tambang skala besar maupun kecil) pada dasarnya memiliki daya rusak bagi lingkungan yang sulit dipulihkan. Pemiskinan disekitar pertambangan terjadi karena pengurus negara dan perusahaan mengingkari daya rusak sektor pertambangan.

Daya rusak sendiri dibatasi pengertiannya sebagai suatu bentuk campur tangan terhadap sistem-sistem alami yang mengakibatkan rusaknya sistem alami tersebut sehingga fungsi-fungsi alamiahnya berkurang atau bahkan hilang. Semakin besar skala suatu kegiatan pertambangan maka potensi terjadinya kerusakan ekosistem menjadi makin besar dan sulit dipulihkan. Semakin rendah campur tangan negara dalam memperkecil daya rusak pertambangan, makin besar biaya pemulihan yang ditanggung rakyat dan lingkungan sekitar.

Seluruh tahap pengembangan tambang mineral misalnya memiliki dampak merusak lingkungan hidup dan ekosistem alami tempatnya beroperasi. Di wilayah operasi, dimana masyarakat setempat hidup dan penghidupannya bergantung sebagian dan/ atau sepenuhnya kepada tanah dan kekayaan alam, seluruh mata rantai operasi tambang mineral memiliki dampak terhadap penurunan mutu dan pelenyapan kehidupan masyarakat. Berbagai aspek penghidupan rakyat mulai dari biofisik, sosial ekonomi, hingga politik menerima dampak seluruh mata rantai operasi tambang mineral.

Proses pemiskinan terjadi bahkan sejak awal pertambangan masuk. Sejak hak penguasaan dan kelola rakyat atas tanah diingkari. Sehingga perizinan pertambangan dikeluarkan secara sepihak. Terbukti tak ada satu pun Kontrak Karya (KK) Pertambangan dan Kuasa Pertambangan yang mendapatkan persetujuan rakyat sebelum diberikan. Bahkan KK Generasi Pertama PT Freeport menyebutkan kawasan pertambangan mereka sebagai kawasan yang tidak berpenghuni. Padahal kawasan tersebut adalah wilayah kelola suku-suku Pengunungan Tengah Papua.

Lain lagi di kawasan eksplorasi Newmont Horas Nauli di daerah batang Toru, Sumatera utara. Entah apa yang dibuang oleh Newmont ke sungai Aek Pahu di Kecamatan Batangtoru saat melakukan eksplorasi untuk tambang emasnya, yang jelas warga mulai merasakan gatal-gatal disekujur tubuhnya. Akhirnya lewat surat No.540/5126 tertanggal 13 Juli 2004, Bupati Tapanuli Selatan meminta Newmont menghentikan sementara kegiatan eksplorasinya. Surat ini tak pernah digubris oleh Newmont.

Kebijakan pertambangan yang berlaku saat ini, UU No 11 tahun 1967, menjadi pintu masuk daya rusak pertambangan. Misalnya Pasal 26 UU No 11 tahun 1967 yang menyebutkan ”... apabila telah didapatkan izin kuasa pertambangan atas sesuatu daerah atau wilayah menurut hukum yang berlaku, maka kepada mereka yang berhak atas tanah diwajibkan memperolehkan pekerjaan pemegang kuasa pertambangan atas tanah yang bersangkutan atas dasar mufakat kepadanya". Akibatnya jika perusahaan tambang akan beroperasi, pilihan bagi penduduk lokal hanya ada dua: menerima ganti rugi pelepasan tanah sepihak, atau digusur karena menolak menerima ganti rugi. Akibatnya konflik tanah antara pertambangan dan masyarakat di awal operasi terjadi hampir di semua lokasi pertambangan.

Sebut saja kasus gantirugi tanah Rp 30,- per meter oleh perusahaan Beyond Petroleum - BP Tangguh di Saengga Papua. Atau petani gula aren dipaksa meninggalkan lahan jalitnya dengan gantirugi sepihak di kawasan pertambangan PT Newmont Nusa Tenggara di Sumbawa. Demikian juga sebanyak 444 KK warga sekitar sungai Kelian (1990) digusur dari pemukiman dan kebunnya ketika PT Kelian Equatorial Mining (KEM) akan beroperasi di Kalimantan Timur. Ribuan penambang tradisional rakyat Suku Dayak Siang, Murung, dan Bakumpai diusir dari lubang-lubang pendulangan emasnya karena wilayah mereka dimiliki oleh PT Indo Muro Kencana (IMK) di Kalimantan Tengah dan lainnya.

Umumnya kasus pembebasan tanah ini disertai intimidasi dan bentuk kekerasan lainnya hingga penghilangan nyawa. Penduduk lokal seolah tak punya hak menolak pertambangan yang akan beroperasi di wilayah kelolanya. Apalagi memilih model ekonomi yang lebih berkelanjutan, seperti pertanian, kehutanan, pariwisata atau perikanan. Warga Ratatotok di Minahasa Selatan, mengalami intimidasi oleh aparat pemerintah dan kepolisian saat menolak lahan-lahan kebunnya diganti rugi hanya Rp 250 per m². Kelak kebun-kebun warga diperuntukkan bagi lubang tambang (pit), gedung pabrik, jalan serta fasilitas tambang Newmont lainnya. Saat Newmont berhasil membangun sarana dan prasarana tambangnya, warga Ratatotok juga kehilangan mata pencaharian dari kebun. Sebagian warga akhirnya harus beralih kerja di sektor informal menjadi buruh, penjaja ikan keliling (tibo-tibo) atau berdagang makanan. Sebagai modal berdagang, beberapa dari mereka terjebak utang karena harus meminjam uang dari rentenir sebagai modal awal.

Saat perusahaan tambang berproduksi, pemiskinan terus berlangsung melalui menurunnya kualitas pelayanan alam dan produktifitas rakyat, khususnya terkait sumber daya tanah dan air. Untuk mendapatkan 1 gram emas di tambang PT Freeport dihasilkan 2480 ribu gram limbah. Selain itu pertambangan juga dikenal rakus air. Air menjadi bahan baku kedua setelah batuan dan tanah galian. Air tak hanya digunakan untuk kebutuhan harian karyawan perusahaan, tetapi yang utama digunakan dalam proses ekstraksi pemisahan bijih. Di pertambangan Barisan Tropikal Mining, Sumatera Selatan, dibutuhkan setidaknya 104 liter air untuk mendapatkan 1 gram emas. Krisis air merupakan masalah yang selalu dijumpai disemua lokasi pertambangan. Penurunan kuantitas dan kualitas air terjadi karena operasi pertambangan membutuhkan air dalam jumlah besar sementara kualitas air juga menurun karena rusaknya sistem hidrologi tanah. Sementara limbah tambang berpotensi mencemari kawasan perairan sekitar, baik karena rembesan air asam tambang, rembesan logam berat ataupun buangan lumpur tailing.

Lantas kemana limbah dengan jumlah massif ini dibuang? Tentu saja ke lingkungan sekitar. Tepatnya ke lokasi-lokasi produktif tempat mata pencaharian penduduk, yaitu sungai, hutan rawa, sumber-sumber air, lahan pertanian hingga ke laut. Itulah mengapa sektor pertambangan potensial mematikan sektor lainnya yang lebih berkelanjutan. Dari kasus-kasus pertambangan yang di catat JATAM, terlihat bahwa sektor pertambangan kontraproduktif terhadap sumber-sumber penghidupan lain yang berkelanjutan. Sumber penghidupan tersebut adalah kebun, lahan pertanian, rumah atau pekarangan, hutan adat, tambang rakyat, wilayah peternakan atau penggembalaan dan perikanan.

Catatan berikut akan melengkapi gambaran di atas. Hingga tahun 2004, Newmont membuang sekitar 5,8 juta ton tailing ke Teluk Buyat dan 310 juta ton tailing ke Teluk Senunu, Sumbawa. Perempuan di kedua teluk mengeluhkan hilangnya nener (anakan udang) yang merupakan mata pencaharian mereka di sekitar teluk. Freeport membuang sedikitnya 5 milyar ton limbah ke sungai, danau dan hutan-hutan hingga laut. Perempuan tak bisa lagi mencari Karaka (kerang) di sungai. Sementara sumber pangan berupa hutan rawa sagu tertimbun tailing PT Freeport. Warga Dayak Siang, Murung dan Bakumpai harus membeli ikan asin jika ingin mengkonsumsi ikan. Padahal dulunya mereka bisa menangkapnya di sungai sebelum PT Indo Muro Kencana (Aurora Gold) mencemari sungai disana. Hal yang sama juga terjadi pada warga Rupit yang hidup di tepi sungai Tiku, dimana Barisan Tropikal Mining (Laverton Gold) membuang 2,5 juta ton tailing ke lingkungan dan mencemari sungai.

Masyarakat sekitar pertambangan juga makin turun daya belinya akibat tingginya harga-harga bahan makanan pokok. Tak berhenti disitu, pemiskinan semakin sulit dipulihkan saat pertambangan berakhir (mine closure). Lubang-lubang menganga dengan dalam ratusan meter dan luasan puluhan hektar akan menjadi warisan jangka panjang penduduk lokal. Di kawasan pertambangan PT Barisan Tropikal Mining milik laverton Gold Australia, warga harus mengalami gangguan kesehatan begitu perusahaan tambang pergi, karena tailing damnya secara diam-diam dialirkan ke sungan Tiku. Sungai yang memenuhi kebutuhan air warga mencuci dan mandi sehari-hari.


Korban Paling Rentan

Perempuan dan anak-anak adalah kelompok paling rentan terhadap daya rusak pertambangan. Hal ini terkait dengan peran domestik dan produktif perempuan. Umumnya tanggung jawab penyediaan pangan, perawatan keluarga, dan pengurusan rumah dibebankan kepada perempuan. Adanya krisis air di sekitar lokasi pertambangan, baik dalam segi jumlah dan kualitas membuat beban perempuan untuk pengadaan air bersih menjadi lebih berat. Terjadinya kelangkaan air bersih, baik di mata air maupun di sungai, maka ia harus berjalan lebih jauh untuk mendapatkannya. Apalagi di musim kemarau. Sebuah survei terbatas di Afrika dan Asia menemukan bahwa perempuan menghabiskan 5-17 jam/minggu untuk mengumpulkan air bersih dari sumber air yang letaknya jauh (UNDIESA, 1991).

Tidak tertutup kemungkinan, keterbatasan ekonomi serta sangat jauhnya jarak ke sumber air membuat perempuan tidak mempunyai pilihan selain memanfaatkan air yang ada di sekitarnya. Di teluk Buyat, perempuan dan anak-anak terpaksa menggunakan satu-satunya sumber air, yaitu sungai Buyat yang berlumpur dan tercemar untuk mandi dan mencuci. Sementara untuk kebutuhan minumnya mereka mendapatkan pasokan dari Newmont, yang belakangan diketahui juga telah terkontaminasi Arsen (Tim Terpadu, 2004). Ironi sekali, ketika ia berupaya menjaga kebersihan rumah dan keluarga demi kesehatan anggota keluarganya, justru terbuka peluang baginya untuk terpapar logam berat akibat limbah pertambangan.

Peran produktif perempuan juga tak lepas dari pengelolaan sumber daya alam, khususnya pangan. Perempuan di desa nelayan Terusan, Kab. Kutai Timur misalnya, kini tak bisa memperoleh penghasilan dari menangkap bibit udang (benur) dan nener. Penurunan hasil tangkapan benur mencapai 95%. Jika sebelumnya perempuan bisa mendapatkan 10.000 ekor/ hari, sekarang hanya 300 ekor bahkan kadang tidak ada sama sekali. Saat musim angin utara, limbah Unocal masuk ke pantai Terusan, akibatnya bibit udang menghilang. Kondisi ini terjadi sejak tahun 1987. Namun dampak terbesar terjadi sejak 1992 hingga sekarang. Kehilangan bibit yang terbesar dialami setelah seismic dilakukan tahun 1998 oleh PT Alico - Total, sekitar 2 bulan bibit udang menghilang. kasus ini membuktikan, hilang dan rusaknya wilayah kelola perempuan mengakibatkan pemiskinan terhadap perempuan.

Tak berhenti disitu, pertambangan juga mengancam peran reproduktif perempuan. Gangguan kesehatan warga Buyat Pante yang terjadi sejak pembuangan tailing PT Newmont Minahasa Raya (NMR) ke Teluk Buyat, mayoritas dialami oleh kaum perempuan. Hasil temuan lapangan Yayasan Suara Nurani (YSN), Sahabat Perempuan dan mahasiswa pascasarjana kedokteran jurusan Kesehatan Masyarakat Universitas Sam Ratulangi menunjukkan bahwa dari 94 pasien yang diperiksa, sebanyak 60% penderita adalah perempuan, sedangkan 40% lainnya balita dan anak-anak. Warga Buyat mengalami gangguan kesehatan, termasuk kesehatan reproduksi perempuan, dari pencemaran yang terjadi. Hasil temuan Komnas Perempuan memperkuat temuan-temuan sebelumnya tentang kondisi kesehatan terakhir warga Buyat. Gangguan kesehatan yang dialami warga perempuan Buyat antara lain benjolan-benjolan muncul di daerah payudara, ketiak dan leher. Selain sakit kepala dan gatal-gatal di seluruh tubuh, para nelayan perempuan juga mengalami gangguan pada siklus menstruasi. Seorang ibu perempuan bernama Puyang (alm), meninggal dunia setelah payudaranya pecah dan diduga kuat tercemar logam berat.

Komoditas Kutukan

Laporan Oxfam Amerika, Oktober 2001 bertajuk “Extractive Indutrie Review and the Poor” menyimpulkan bahwa negara-negara berkembang yang bergantung pada ekspor minyak dan mineral tingkat korupsinya cenderung sangat tinggi, pemerintahannya otoriter, tingkat kemiskinan dan kematian anak yang tinggi, ketidakadilan pemerataan pendapatan dan rentan terhadap kejutan ekonomi. Laporan lainnya bertajuk “Digging to Development” (2002) yang melihat bagaimana sejarah keterkaitan tambang dan pembangunan ekonomi (2002) memperkuat fakta tersebut. Amerika Serikat, Kanada dan Australia yang dikenal memiliki ekonomi yang kuat dan terus berkembang bukan digerakkan oleh sektor pertambangan, tetapi pertanian, industri teknologi dam manufaktur. Laporan ini mengoreksi pernyataan Bank dunia dan pelaku pertambangan yang misleading menyebutkan bahwa kemajuan tiga negara tersebut disebabkan oleh pertambangan.

Sebaliknya konflik pertambangan dengan penduduk lokal terjadi di banyak tempat di banyak negara yang bergantung kepada ekstraksi mineral dan migas. Kondisi ini juga ditemukan dalam evaluasi independen Bank Dunia (EIR) yang diketuai oleh Prof. Emil Salim (2004). Panel EIR merekomendasikan Bank Dunia menghentikan pendanaannya terhadap pertambangan batubara dan energi fosil dalam 20 tahun kedepan, dengan alasan utama karena berkontribusi terhadap pemiskinan.

Bagaimana di Indonesia? Temuan-temuan diatas, tak jauh dari kenyataan yang dijumpai di Indonesia. Apalagi, selama ini eksploitasi sektor tambang di Indonesia sebagian besar berbasiskan bahan mentah untuk kebutuhan ekspor. Bahkan Freeport dan Newmont mengekspor emas dalam bentuk konsentrat. Akibatnya nilai tambah sektor ini sangatlah kecil. Sepanjang tahun 2000 – 2004, sumbangan sektor pertambangan umum untuk APBN hanya berkisar antara 1,3 – 2,3 trilyun royalti yang disumbangkan pertambangan kepada APBN. Departemen ESDM mengklaim, pemasukan sektor tambang kepada negara mencapai Rp 17 trilyun pertahun. Bandingkan dengan pendapatan yang diterima negara dari pengiriman Tenaga Kerja Indonesia (TKI) keluar negeri yang mencapai Rp 25 trilyun pertahun.

Penyerapan tenaga kerja massal di tingkat lokal juga tidak terjadi seperti yang dibayangkan. Sektor pertambangan hanya menyerap 0,13% tenaga kerja Indonesia. Bandingkan dengan sektor pertanian yang menyerap hinggga 43,7% tenaga kerja Indonesia. Apalagi, operasi sebuah perusahaan tambang juga berumur pendek, karena besarnya produksi dan bahan yang digali adalah bahan tidak terbarukan. Umurnya hanya berkisar antara 3 hingga 12 tahun, tentu pengecualian untuk PT Freeport karena menguasai 51% cadangan emas dan tembaga Indonesia.

Setelah hampir empat dekade pengelolan pertambangan, sektor pertambangan mineral yang diharapkan menjadi tulang punggung ekonomi Indonesia tak sesuai antara manfaat (benefit) dan mudharatnya (cost). Mudharat adalah biaya-biaya yang dikeluarkan oleh negara dan penduduk lokal dan negara saat pertambangan masuk, beroperasi hingga mereka meninggalkan kawasan pertambangannya, termasuk resiko terjadinya kecelakaan, kerusakan baik sosial, budaya maupun ekologi. Keyakinan bahwa sektor tambang mensejahterakan suatu negara berkembang pemilik sumberdaya mulai memudar. Alih-alih kesejahteraan yang didapat penduduk lokal dan lingkungan sekitar, mereka justru harus mensubsidi perusahaan tambang yang beroperasi dikawasan mereka dengan cera kehilangan lahan, mata pencaharian, menurunnya kualitas lingkungan dan kesehatan akibat pertambangan.[selesai]


Tulisan ini telah dimuat di Jurnal Pembaruan Pedesaan dan Agraria, Edisi 1 Tahun 2007, KARSA

Tidak ada komentar: