Jumat, 25 Juli 2008

Hindari Dampak Penambangan di Hutan Lindung

Hindari Dampak Penambangan di Hutan Lindung



Menteri Negara Lingkungan Hidup Nabiek Makarim telah menyetujui tambang di hutan lindung tetapi banyak kalangan pencinta lingkungan termasuk aparat di daerah menilai sebaiknya harus menghindari dampak lingkungan yang akan ditimbulkan nanti.
Tercatat ada sekitar 150 perusahaan yang ingin melakukan penambangan di wilayah hutan lindung. Hingga tak heran kalau Menteri Negara Lingkungan Hidup Nabil Makarim sudah merekomendasikan dan meloloskan sebanyak 15 perusahaan yang mau menambang di hutan lindung.
Penambangan di hutan lindung menurut Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam (KSDA) Wilayah Papua di Jayapura Ir B. Resubun kepada Jubi pekan lalu tidak menjadi masalah yang penting dilakukan dengan mengurangi dampak lingkungan atau memperkecil dampak. “ Namun saya khawatir kalau dilakukan penambangan terbuka bisa merusak dan memberikan dampak lingkungan bagi kawasan tersebut,”tegas Resubun.
Ditegaskan terkecuali penambangan emas dan bauksit sebab proses penambangan itu akan merubah bentangan alam di atas kawasan hutan lindung tersebut.
Pendapat senada juga dikatakan Direktur WWF Region Sahul Papua Benja V Mambai kepada Jubi di ruang kerjanya Jumat, 4 Juli 2003. “ Bagi saya keterlibatan masyarakat di kawasan hutan lindung dalam proses dialog harus dilakukan secara terbukan dan transparan. Masyarakat harus menjadi mitra sejajar dengan pemerintah dan perusahaan. Jangan sampai masyarakat jadi faktor pelengkap semata,”ujar Mambai. Menurut dia pengalaman selama ini telah menunjukan bahwa masyarakat tidak punya posisi tawar (bargaining position) yang kuat. “Mereka hanya menjadi penonton dan tidak secara bebas menentukan kebutuhan serta kemauan sendiri. Kita jangan mengulang pengalaman masa lalu,”tegas Mambai.
Diingatkan perusahaan bukan saja memperhatikan masalah keanekaragaman hayati di dalam kawasan hutan lindung tetapi harus pula memperhatikan masalah-masalah sosial yang akan ditimbulkan dikemudian hari. “Terkadang social impact kurang diperhatikan. Nanti kalau sudah timbul problem baru mulai dibicarakan,”tambah Mambai.
Ditegaskan harus ada manfaat ekonomi yang berarti mereka diberikan ruang untuk duduk bersama pemerintah dan perusahaan. “Untuk itu harus ada kesepakatan dalam bentuk aturan yang saling mehikat sehingga ada sanksi bagi pihak yang melanggar baik masyarakat, perusajaan dan pemerintah,”pesan Mambai. Menurut alumnus pasca sarjana jurusan lingkungan Universitas Indonesia itu di Provinsi Papua terdapat banyak peluang untuk memanfaatkan kawasan hutan lindung. Dia mencontohkan wilayah Taman Nasional Lorenzt saja sudah ada perusahaan minyak Conoco yang meminta ijin eksplorasi minyak. “Belum lagi penambangan nikel di Pulau Gag Kabupaten Raja Ampat. Apalagi setiap daerah masih mengandalkan potensi sumber daya alam untuk menopang pendapatan asli daerah(PAD),”tutur Mambai. Dijelaskan penambangan di kawasan hutam lindung justru akan memberikan kesempatan bagi usaha lain seperti perkayuan di dalam kawasan lindung.
Sementara itu para aktivis LSM di Jakarta menilai pernyataan Meneg Lingkungan Hidup Nabiel Makarim tidak tahu aturan, sebab dalam pasal 19 UU No.41 Tahun 1999 tentang Kehutanan mensyaratkan alih fungsi hutan lindung ke hutan produksi terbatas sehingga pertambangan terbuka yang dilakukan harus lewat pengkajian mendalam oleh tim terpadu dan harus disetujui oleh DPR. Lolosnya 15 perusahaan itu dikhawatirkan menjadi awal lolosnya sebanyak 150 perusahaan lainnya untuk melakukan penambangan terbuka di hutan lindung. Akibatnya lebih dari 11 juta hejtar hutan lindung di Indonesia akan musnah karena kegiatan penambangan terbuka.
Mantan Menteri Negara Lingkungan Hidup Prof Dr Emil Salim menyarankan agar pemerintah mempertimbangkan kembali keputusan pertambangan terbuka terutama di pulau-pulau kecil seperti Pulau Gag di Kabupaten Sorong yang kaya akan tambang nikel.


Bahan bacaan :
1. Dikutip dari tabloid Jubi edisi No.36 Tahun ke IV, 6-12 Juli 2003.

Tidak ada komentar: