Rabu, 30 Juli 2008

Tangguhnya BP, Rapuhnya Bintuni

on Wednesday, 25 June 2008
Dikutip dari Jatam
Oleh Hendrik Siregar
Saat berkunjung ke Bintuni dan Babo Papua Barat, sangat terasa ketangguhan BP di kawasan itu membuat Bintuni makin rapuh. Serbuan pendatang dengan segala budayanya termasuk makanan, mempengaruhi pola hidup penduduk asli. Dari sinilah perkenalan dengan beras dimulai. Pendatang mengkonsumsi beras dan menjadikannya makanan populer. Sagu masih menjadi makanan pokok, namun beras menjadi pilihan utama.
****Waktu menanyakan jadwal pelayaran kapal dari Bintuni menuju Babo. Ibu pemilik warung tempat saya makan siang itu bertanya “Mas, kerja di BP ya?,”. Ini pertanyaan umum untuk laki-laki dewasa berkulit terang dan berambut lurus yang datang ke kawasan ini. Itu pertanda Babo, kampung kecil di Teluk Bintuni Papua Barat ini, nyaris dikuasai pendatang. Babo adalah markas BP atau British Petroleum, perusahaan minyak dan gas dari Inggris. Disini, BP memiliki proyek tambang gas terbesar se Asia Tenggara, namanya Tangguh, lebih dikenal dengan sebutan BP Tangguh.Sambil menunggu kapal datang. Saya mengingat-ngingat data mengenai BP Tangguh. BP dulunya kependekan British Petroleum - perusahaan Inggris, merupakan salah satu perusahaan raksasa penghasil minyak dan gas dunia. Puncak produksi minyak dan gas alam mereka dapatkan tahun 2000. Produksi perhari sekitar 1,928 juta barrel minyak dan 7.609 juta kaki kubik gas alam.BP beroperasi di lebih 100 negara, investasinya mencapai angka 200 milliar dollar. Ini mengusungnya menjadi salah satu perusahaan minyak yang memperoleh keuntungan tertinggi di dunia. Pasar terbesar mereka adalah Amerika Serikat dan Eropa,. Castrol salah satu produk andalannya.Sejak dicanangkan sebagai proyek nasional pada Desember 2002, serbuan pendatang ke kawasan ini tak terbendung. Sebagian besar bekerja di BP Indonesia serta Proyek LNG Tangguh. Dengan cadangan gas terbukti mencapai 14,4 trilliun kaki kubik, dan bisa bertambah hingga 25 trilliun kaki kubik, proyek ini diperkirakan bisa mencapai 30 tahun. Apalagi, proyek Tangguh telah memiliki pembeli. Kontrak jangka panjang hingga 20 tahun telah ditandatangani dengan Amerika Serikat, Jepang, Korea Selatan dan China. Harusnya BP Tangguh berproduksi tahun lalu, tapi hingga tahun ini belum juga berproduksi.Akhirnya kapal yang ditunggu datang. Perjalanan dilanjutkan ke Babo,. Kapal jurusan Bintuni – Sorong ini membutuhkan waktu 3 jam untuk sampai kesana. Dalam perjalanan menuju Babo, kembali saya ditanya. Kali ini dari seorang karyawan kapal. Aldo namanya. Setelah berbasa-basi menanyakan tujuan saya, ia langsung mengajukan pertanyaan. “Sudah berapa tahun kerja di BP Mas.?” tanyanya. Sepanjang perjalanan, pemuda kelahiran Pematang Siantar dan baru 4 bulan bekerja di kapal ini, bercerita tentang BP Tanggguh. Seolah-olah ia mengenal baik perusahaan ini. Ia sangat bangga dengan kekayaan gas yang ada di Teluk Bintuni. Namun menyayangkan warga lokal yang tidak mampu bekerja disana. Tak terasa, saya dan Aldo bertukar cerita hampir dua jam lebih. Akhirnya kapal mulai merapat, begitu sampai tujudi pelabuhan Babo. Disini ada cerita lucu. Untuk ketiga kalinya, saya mendapat pertanyaan yang sama. Kali ini ditanyai seorang pemuda. Ia tertarik dengan sepatu yang saya pakai, ia menduga itu pemberian BP Tangguh. Di Babo, saya bertemu Obi. Pemuda asal kampung Warga Nusa. Ia orang asli Papua. Dulu, Obi dijanjikan pekerjaan di salah satu sub kontraktor pengeboran. Namun, berbulan-bulan menunggu, ternyata posisi yang dijanjikan telah diisi orang lain, dari Jawa. Ia berang dan memperkarakan ini ke Dinas Tenaga Kerja Bintuni. “Waktu dilakukan pertemuan dengan Disnaker Bintuni. Ternyata saat makan siang, supervisor PT. Bramana Karya – sang kontraktor, kabur ke Manokwari” tuturnya. Rupanya ingkar janji adalah hal biasa disini, khususnya jika berhubungan dengan penerimaan kerja di BP Tangguh. Aldo – teman seperjalanan saya, bercerita kasus-kasus serupa yang menimpa teman, atau tetangganyaCerita dari kampung Saengga dan Tanah Merah beda lagi. Ini kampung paling dekat dengan kilang pengolahan BP Tangguh. Meskipun banyak warga direkrut, mereka hanya bekerja sebagai buruh. Statusnya pun buruh kontrak, yang setiap saat dapat diputus oleh perusahaan. Tiap tiga bulan, nasib buruh-buruh ini digantung, diantara diperpanjang atau diberhentikan. Proyek ini berencana merekrut tenaga kerja sebanyak 5 ribu hingga 8 ribu orang. Sementara BP-Indonesia, sejak tahun 1999 hingga 2002 telah merekrut tenaga kerja kurang lebih 7500 orang. Mereka direkrut untuk masa persiapan, sebelum sampai tahap produksi. Mereka buruh kontrak yang hanya direkrut satu kali proyek, setelah enam bulan habis masa kontraknya, selanjutnya tak dipakai lagi. Dari angka itu, hanya 200 hingga 300 penduduk asli. Hingga 2005, tak kurang 5 ribu orang dipekerjakan BP. Mereka bekerja pada lima kontraktor, yakni PT. Arco, PT. Alico, PT. Petrosea, PT. Firma dan PT. Buma Kumawa. Namun jumlah itu akan terus menyusut, manakala Tangguh berproduksi penuh. Hanya tenaga ahli saja yang akan dipertahankan, paling banyak 500 orang. Jumlah penngangguaran di kawasan itu akan bertambah. Bagi warga distrik Babo, Proyek Tangguh adalah harapan. Kebutuhan tenaga kerja saat tahap membangun Kilang LNG adalah peluang kerja. Tapi, biasaya hanya ada dua pilihan bagi mereka, jadi buruh kasar atau satuan keamanan. Hal ini dikarenakan rendahnya pendidikan dan pengetahuan warga di kawasan itu.Saat ini, ada seribuan orang dilatih dan bekerja sebagai tenaga keamanan Tangguh. Angka ini akan menyusut saat proyek berproduksi penuh. Apalagi BP telah membangun pos polisi sendiri guna mengamankan perusahaan. BP juga memiliki satuan keamanan swasta berasal dari Australia -SHIELD-, yang dilatih oleh mantan Kopassus dan tentara Australia. Serbuan pendatang dengan segala budayanya termasuk makanan, mempengaruhi pola hidup penduduk asli. Dari sinilah perkenalan dengan beras dimulai. Pendatang mengkonsumsi beras dan menjadikannya makanan populer. Sagu masih menjadi makanan pokok, namun beras menjadi pilihan utama.
Beras dan sagu banyak dijual orang. Tak perlu lagi menokok sagu. Pedagang Buton dan Makasar telah menyediakannya dalam karung-karung seharga Rp 100 ribu hingga Rp 150 ribu. Sementara , telah tersedia di pasar kecamatan. Ada juga bantuan beras murah dari pemerintah, meski sering terhambat masalah transportasi.Ketergantungan terhadap beras kedepan, akan beresiko krisis pangan di kawasan ini. Betapa tidak, budidaya padi hanya ada di distrik Bintuni. Ini ditanam petani transmigran Jawa.
Serbuan pendatang, membuat kawasan pemukiman pinggir sungai menjadi padat, kota-kota kecil baru yang dipadati penduduk. Dikawasan ini, penduduk asli sulit mendapatkan sumber protein. Ikan yang semula bisa ditangkap dalam waktu 15 hingga 30 menit, kini harus mendayung ke tengah sungai atau ke dalam teluk. Atau berjalan puluhan kilometer menyusuri rawa untuk mendapatkan siput dan kerang.
Umumnya lahan-lahan di kawasan Teluk Bintuni dikuasai berdasarkan marga. Semula batas-batas lahan yang diwariskan turun-temurun ini sangat jelas, namun sejak masuknya investasi kawasan ini - khususnya BP, timbul konflik saling klaim antar marga.Suku Simuri, salah satu suku asli menyebut tanah “Wane” yang artinya Ibu. Mereka percaya tanah yang telah melahirkan, merawat, membesarkan, mendidik, dan menghidupi mereka. Oleh karenanya, mereka tidak dikenal aturan jual beli tanah. Di kawasan lain, untuk kebutuhan konstruksi, kampung Saengga ikut pindah. Jangan heran jika datang ke perkampungan baru di kampung Tanah Merah dan Saengga, yang tertata layaknya perumahan elit. Rumah dibuat mirip dan seragam bangunannya. Bagai sebuah kompleks perumahan baru, tersedia pula balai desa, masjid, gereja dan lainnya untuk kepentingan pemerintahan desa. Selain itu, setiap rumah dialiri listrtik untuk penerangan. Biarpun listrik hanya dapat dinikmati kurang lebih 5 – 6 jam setiap harinya.Namun rumah-rumah itu megah diluarnya, sementara penghuninya makin rapuh. Warga nelayan dkampung ini makin sulit menangkap Ikan. Sejak BP menetapkan zona larangan untuk perahu nelayan. Akibatnya wilayah tangkap mereka makin jauh. Apalagi makin banyak warga pendatang yang turut menangkap ikan dan udang dikawasan yang sama. Umumnya pendatang itu adalah orang Bugis dan Jawa. Yang biasanya lebih unggul, baik modal, pengalaman dan kemampuan dalam berusaha.Masalah lain juga mulai terasa, pencemaran akibat operasional proyek dari tumpahan minyak dan oli kapal. Tumpahan minyak dan oli umumnya berasal dari kapal-kapal besar pengangkut kebutuhan operasional BP saat bersandar dan Speeboat BP yang digunakan untuk transportasi karyawan dari Babo ke rig atau kilang. Juga Speed boat milik pertugas keamanan yang berpatroli tiap hari dari Kampung Saengga hingga Babo. Saat berkunjung ke Bintuni dan Babo, sangat terasa ketangguhan BP di kawasan itu, membuat Bintuni makin rapuh. Penulis adalah manajer Wilayah Krisis JATAM

Tidak ada komentar: