Jumat, 25 Juli 2008

Tambang di Pulau New Guinea

I.Tambang di Provinsi Papua

Kamis minggu ke dua Oktober tepat pukul 05.30 pagi WP terdengar suara gemuruh dari atas melungsur batuan tanah, dan lumpur menerjang dengan ganasnya. Dalam sekejap 13 anggota opeartion crew IV terbenam dalam 2,3 juta meter kubik materi longsor yeng menenggelamkan mereka. Di tengah bunyi gemuruh seorang crew IV sopir haul truck dengan ban yang mencapai ketinggian tiga meter Fredrik Rumere lolos dari terjangan maut.
Ia berhasil selamat sedangkan empat temannya sampai saat ini hilang ditelan material dan belum ditemukan. “Bau mayat yang menyengat hidung mulai menyambar di sekitar lokasi kejadian dari timbunan tersebut,”tutur salah seorang sumber Jubi di Timika yang enggan menyebutkan namanya.
Senior manager Coroporate Communications Freeport Sidharta Moersyid kepada wartawan di Jakarta mengatakan longsor terjadi di bagian selatan area tambang terbuka Grasberg. Longsoran itu terjadi pada lokasi pertemuan batuan poker chip di zona lemah dan batuan instrusif dengan ketinggian 3.800 sampai 4000 kaki di atas permukaan laut. Lokasi tambang Grasberg letak pada ketinggian 4200 meter sedangkan puncaknya mencapai 4.209 meter.
Kondisi kerja di Grasberg barangkali yang paling terberat di dunia tulis George A Mealey dalam bukunya berjudul Grasberg, sebab hujan dan kabut selalu datang setiap hari menciptakan kondisi rawan bagi keselamatan. Selain itu menelan biaya besar untuk pemeliharaan alat. Sebagai contoh dapat dikemukakan bahwa pemeliharaan jalan di Grasberg menelan biaya tiga kali lipat jika dibandingkan di tempat lain. “ Pada dasarnya tambang tidak pernah tutup, tetapi kabut tebal sangat membatasi jarak pandang, sehingga bagian tertentu dari tambang harus dihentikan operasinya selama 25 menit setiap harinya, yang berarti memperbesar biaya operasi,”tegas George Mealey.
Aktivitas penambangan PT Freeport di Tanah Papua dimulai sejak 19 April 1967 secara resmi membuka sayapnya di Irian Barat. Dua tahun sebelum pelaksanaan Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) 1969 dilakukan perusahaan raksasa milik Amerika Serikat sudah menancapkan kukunya di tanah orang Papua. Kemudian 1973 Presiden Soeharto meresmikan penambangan perdana tambang tembaga di Gunung Ertsberg. Lubang bekas tambang Ertsberg kini menjadi danau Wilson, sebagai penghormatan kepada Forbes Wilson. Danau Wilson berfungsi sebagai persediaan air untuk operasi pabrik pengolahan serta membangkitkan tenaga listrik dengan kapasitas 2,5 megawatt. “Oleh karena itu perlu diusahakan agar lubang tambang Grasberg tidak terisi air pada saat yang terlalu dini, sehingga penirisan harus tetap dilakukan dengan baik,”tegas George A Mealey. Ertsberg menunggu waktu 36 tahun untuk menambangnya sedangkan Grasberg membutuhkan waktu 22 bulan. Konstruksi pada lobang bor di musim panas 1988 memberikan kepastian cadangan Grasberg, sehingga awal 1995 produksi Grasberg sudah mencapai dua kali lipat. Menurut Sidharta saat izin penambangan sebanyak 300 ribu ton per hari tapi Freeport selalu beroperasi di bawah angka tersebut. Sumber Jubi di Timika mengemukakan lokasi longsor di Grasberg itu mempunyai kandungan emas sangat tinggi, sehingga saat ini PT Freeport sudah menjadi salah satu penghasil emas.
Mantan Dirjen Pertambangan Umum pernah menuturkan hasil pengujian laboratorium atas sampel konsentrat yang dilakukan di dalam mau pun luar negeri menunjukan bahwa konsentrat yang dieksport PT Freeport mengandung antara lain : ( lih tabel ).


Tabel :

No
Bahan tambang
Presentase
keterangan
01
Tembaga (Cu)
22,31 persen per ton

02
Emas (Au)
22,93 gr per ton

03
Perak (Ag)
47,43 gr per ton

04
Belerang (S)
27,95-31,52 gr per ton

05
Besi (Fe)
19,9-31,33 persen per ton



Dari berbagai mineral ikutan tersebut salah satu yang pasti ekonomis diproduksi adalah belerang (S). Mineral ini dapat diolah menjadi H2SO4 (Asam Sulfat) yang bisa dijadikan bahan pupuk. Rata-rata produksi PT FI dari tahun 1993-1996 adalah 1.315.706 ton/tahun. Jika kandungan belerang berkisar antara 27,95-31,52 persen maka setiap tahun perusahaan menghasilkan belerang sebesar 394.711,8 ton.
Berdasarkan Keputusan Menteri Pertambangan dan Energi No:1166K/844/MPE/1992 tanggal 11 September 1992 maka royalti yang akan diterima pemerintah dari belerang U$ 2,1 per ton. Dengan demikian pemerintah akan memperoleh royalti tambahan sebesar U$ 828.894,78 pe rtahun. Harga belerang kala itu berkisar U$ 60 per ton. Ini berarti PT FI akan mendapat tambahan pengahsilan sebesar U$ 23.682.708 per tahun. Jika belerang dijadikan Asam Sulfat perusahaan akan mendapat pemasukan yang lebih besar lagi sebab harga asam sulfat per ton adalah U$ 65 per ton.
Undang-undang PMA Indonesia yang baru mulai berlaku 10 Juni 1967. Baru tiga bulan kemudian yaitu pada tanggal 7 April 1967, kontrak karya disetujui oleh Presiden Indoensia Soeharto ditandatangani oleh S Bratanata dari pihak Republik Indonesia dan Roberth c Hills pada waktu itu Presiden Freeport dan Forbes Wilson dari pihak Freeport. Kontrak ini merupakan kontrak karya pertama yang ditandatangani berdasarkan undang-undang tersebut. Dengan kontrak ini pihak PT Freeport segera memulai mengadakan pengeboran di daerah tambang bijih gunung timur (Ertsberg).
Setiap tahun pemerintah Indonesia memperoleh keuntungan sebesar US $ 178 juta sampai US 154 juta pendapatan pajak dan US 33 juta pendapatan bukan pajak. Freeport juga menyumbang sekitar 97,4 persen produk domesteik bruto (PDRB) Kabupaten Mimika dan 70 persen PDRB Provinsi Papua.
Tak bisa disangkal lagi bahwa Grasberg menyimpan emas porfyr, sebab menurut Dr Soetaryo Sigit mantan Dirjen Pertambangan Umum cadangan dan sumber daya tembaga terbesar di Indonesia jenis profir (phoryry) ditaksir seluruhnya berjumlah 32 juta ton. Cadangan terbesar mengandung emas dan perak diperkirakan sekitar 2700 ton terdapat dalam endapan Grasberg.
Sejak 1973 hingga 1987, PT Freeport Indonesia sudah mengolah batuan yang terkandung di bumi cenderawasih sekitar 16 ton per hari, saat itu cadangan bijih terutama dari cebakan Ertsberg diperkirakan sekitar 100 juta ton. Pada 1988 di wilayah Grasberg ditemukan lagi deposit tembaga dan emas yang diperkirakan sebsar 200 juta ton bahkan kini jumlahnya membengkak menjadi 2,5 sampai 3 milyard ton. Kegiatan eksplorasi dan eksploitasi kian marak, tapi masyarakat Papua masih tetap miskin di Indonesia. Provinsi Papua memiliki pendapatan perkapita PDRB tertinggi kedua di Indonesia setelah Provinsi Kalimantan Timur. Tapi hampir jumlah penduduk Papua 40 % termiskin di Indonesia. ( Papua Public Expenditure Analysis (PEA) Overvieuw Report, Seminar Publik PEACH, 5 Juli 2005)

I.i.Apa yang Tersisa ?


Produski yang berasal dari tambang terbuka di Grasberg dan penambangan bawah tanah di wilayah timur tambang terbuka (open pit mining) Ertsbegr yaitu di Intermediate Ore Zone (IOZ) dan Deep Ore Zone (DOZ). Limbah di sekitar lubang tambang terbuka di lembah Cartensz, Grasberg Barat dan Lembah Wanagong. Seluruh proses penambangan hingga pemisahan logam logam yang bebrilai ekonomi menghasilkan timbunan batuan limbah (over burden). Produksi PT Freeport Indonesia saat ini meningkat 5 kali lipat dibandingkan sepuluh tahun lalu. Konsewkensinya adalah jumlah limbahnya pun berlipat ganda, tercatat jumlah tailing (sisa buangan tambang) per tahun 45 juta ton (PT FI 1998)., 5 % berupa pasir halus yang tidak mengendap ditanggul, terus terbawa aliran sungai Ajikwa sampai ke pantai Mimika. Bahkan sebelum tanggul dibangun, tailing ini juga mengalir ke Sungai Minajerwi. (Laporan Studi Mollusca di Kawasan Muara dan Pantai Mimika).
Dari total biji yang diolah, hanya 3-4 % menjadi konsentrat yang mengandung emas, perak dan tembaga, lainnya limbah yang disebut tailing. Tailing dalam bentuk lumpur (slurry) dibuang dari dataran tinggi melalui sungai Aghwagon, Otonoma dan Ajikwa dan diendapkan di dataran rendah Aijkwa. Akibatnya terjadi perubahan habitat flora sub alpina, geoteknik, geokimia dan geomorfologi termasuk juga perubahan flora terestial, biota akuatik, dan kualitas air.





I.ii. Masalah Saling Terkait

Akibat buangan tailing yang melebihi daya dukung lingkungan, alampun mengalami perubahan. Perubahan ini bahkan terjadi jauh dari areal konsesi PT FI. Seperti yang dialami masyarakat di desa Omawita. Buangan tailing yang melebihi daya dukung lingkungan mengakibatkan perubahan warna mollusca di wilayah tersebut. Mollusca jenis tombelo, siput dan kerang berubah warna menjadi bintik-bintik hitam, dan rasanya juga berubah. Seperti yang diakui oleh masyakat suku Kamoro dan Sempan yang berdiam di wilayah tersebut. Hal yang sama juga dikeluhkan oleh sepertiga penduduk desa kali Kopi, penduduk desa omawita dan Desa Fanamo yang juga mencari mollusca di kawasan Aijkwa dan Minajerwi.
Bagi masyarakat lokal, tombelo (Bactrobophorus thoracities dan Bankia orcutti) adalah sumber protein. Kedua jenis tombelo ini biasanya dihidangkan sebagai makanan pembuka pada pesta-pesta adat Karapao yang diselenggarakan suku Kamoro. Tombelo juga sebagai obat malaria, batuk, sakit pinggang, flu dan untuk meningkatkan nafsu makan. Bagi kaum lelaki tombelo sering pula digunakan sebagai obat untuk meningkatkan stamina kejantanannya. Banyaknya kegunaan tombelo bagi kehiudpan se hari hari menyebabkan masyarakat lokal mengeluh saat ini mollusca tidak lagi ditemukan.
Sebagian besar wilayah muara dan pantai Mimika yang berupa mangrove termasuk dalam wilayah kerja PT Freeport Indonesia. Dalam kawasan ini bermukim sekitar 3000 penduduk suku Kamoro dan Sempan. Kehidupan sehari-hari mereka sangat tergantung pada sumber daya alam di sekitar, yang dimanfaatkan melalui kegiatan berburu, meramu sagu dan menangkap ikan. Pendangkalan sungai-sunagi akibat tailing PT FI, tidak hanya menyebabkan penduduk kehilangan sumber pangannya, mereka juga kehilangan identitasnay sebagai manusia sampan (perahu). Kehidupan yang biasa mereka jalani sehari-hari seakan direngut begitu saja, tanpa kabar terlebih ganti rugi. Padahal jaring makanan yang terputus maat sulit diperbaiki lagi.





I.iii.Upaya Membenahi



Masyarakat desa Omawita pernah berupaya untuk memperjuangkan hak mereka dan meminta bantuan salah satu LSM di Jayapura yakni Yayasan Pengembangan Masyarakat Desa Papua (YPMD-Papua ) untuk menghitung kerugian yang mereka derita akibat pembuangan tailing PT FI di wilayah mereka. Upaya ini menemui beberapa kesulitan karena menurut Decky Rumaropen Direktur YPMD Papua adalah (1) Belum ada cara yang pas untuk menghitung nilai ganti rugi tersebut.(2) Apakah ganti rugi yang diberikan dapat memberikan jaminan bahwa mereka dapat hidup berkelanjutan (3) Bagaimana masyarakat dapat survive dengan ganti rugi yang sifatnya temporer (4) Ketergantungan masyarakat yang amat tinggi pada potensi sumberdaya perairan dan kawasan mangrove.
Namun yangjelas gantir rugi atau pun dana 1 % yang diberikan PT FI sepertinya tak mampu menjawab persoalan yang dihadapi masyarakat lokal di sekitar areal pertambangan. Bisa jadi menambah sumber konflik baru dan masalah lain bermunculan karena ketidak siapan dalam mengelola dana tersebut. Terlebih lagi masyarakat yang biasanya menjalankan sistem ekonomi nafkah (susbsitence economic) hanya memproduksi untuk kebutuhan sendiri kini didorong ke sistem ekonomi pasar yang cenderung menjadikan mereka hanya sebagai konsumen.
Kebijakan ekonomi yang selama ini bersifat sentralistik telah mengorbankan terlalu banyak orang-orang yang seharusnya berhak mengelola, menjaga dan menikmati kekayaan alam di wilayahnya.

II.Tambang di Papua New Guinea

Jika membandingkan Provinsi Papua dengan negara tetangga serumpun PNG kegiatan penambangan di Papua New Guinea dimulai 1888. Sebenarnya aktivitas pertambangan di negara tetangga kita ini jauh lebih dahulu terutama saat wilayah ini masih menjadi jajahan pemerintahan Inggris dan kemudian berlanjut ke pemerintahan Australia.
Wilayah pertambangan aluvial di sana adalah Morobe Gold Field, Bulolo, Watut, Markham dan Upper Ramu River sudah dilakukan eksplorasi sekitar 1800 an. Semua cadangan yang pertama kali dibuka di atas sudah habis dan ditutup (The New Guinea Hand Book, 1943 hal 155).
Sedangkan tambang-tambang baru di Papua New Guinea yang dibuka setelah Perang Dunia Kedua adalah Bouganville (1972), Misima di Kepulauan Lousiane (1989), Porgera di daerah Provinsi Engga, Ok Tedi di daeah Star Mt (1981), Central Higlands (1990), dan tambang di Lihir di kepulauan Bismarck (1994). Belum lagi sejumlah proyek yang masih dalam tahapan eksplorasi namun sudah menunjukan adanya mineralisasi yang kaya seperti Frieda Mt Kare, dan Lakikamu di Central Highlands. Potensi pertambangan yang dimilki PNG membuat seorang pejabat yang berwenang di sana berani mencanangkan, PNG akan menjadi penghasil emas ketiga terbesar di dunia setelah Afrika Selatan dan bekas negara adi daya Uni Soviet pada akhir abad ke 20 ( Kompas, Februari 1993).
Masalah penambangan di PNG pun tak lepas dari tarik menarik antara Provinsi kaya dengan pemerintah pusat termasuk masalah hak-hak adat terutama menyangkut landowners (tuan-tuan tanah). Kasus tambang di Bouganville justru membangkitkan semangat untuk memisahkan diri dan Francis Ona dan kawan-kawan pun mengangkat senjata melawan pemerintah pusat di Port Moresby. Pembagian royalti dan ketidak puasan Provinsi Bouganville melahirkan Otonomi bagi wilayah tersebut yang disponsori oleh Fr Jhon Momis.



II.i.Ok Tedi dan BHP

Bukan itu saja dampak lingkungan pun mempengaruhi terutama tailing yang dibuang oleh tambang di Ok Tedi. Adalah perusahaan asal Australia Broken Hill Proprietary Co Ltd (BHP) Perusahaan asing ini sudah beriperasi selama 14 tahun dengan menambang di Star Mountain wilayah ini sangat berdekatan dengan Kabupaten Pegunungan Bintang di Oksibil. BHP menambang emas dan tembang kemudian membuang sekitar 80.000 ton limbah dan tailing per hari di sungai Ok Tedi yang bergabung dengan Sungai Fly di perbatasan PNG dan Provinsi Papua mendekati laut. Pembuangan itu menyebabkan ikan-ikan di sungai banyak yang mati dan punah. Penambangan itu jugamenyebabkan air sungai meluap ke rumah penduduk. Tanaman umbi mati dan limpahan air lumpur itu merusak hutan tropis se luas 30 kilometer persegi ketika air berlumpur itu menutupi akar-akar pohon..
“Sejak penambangan dimulai polusi merusak,”ujar Isaac Arapunan dari Wombon, salah satu dari 112 kampung di tepian Sungai Fly yang terbentang sejauh 1800 KM mulai dari sebelah selatan penambangan sampai ke Teluk Papua.
Namun yang jelas masuknya perusahaan pertambangan di sana membawa perubahan baik mau pun dampak negatif dikemudian hari. Sebanyak 250 juta dolar dikeluarkan BHP untuk membangun insfrastruktur sejak 1981. Rumah-rumah pada enam desa dekat kawasan tambang yang selalu diselimuti awan dengan rumah beratap daun sejak 1984 sudah memakai atap seng dan selalu menerima pembayaran sewa 2,5 juta dolar setahun. Elli David seorang pemuda dari Finalbin Village 15 kilometer selatan areal pertambangan mengakui hidupnya sudah berubah. “Kami biasa menghabiskan hari di hutan untuk berburu dan memasak menggunakan api. Kini kami membeli makan di warung dan memasaknya di dapur,”ujar dia. Perubahan di PNG mau pun juga di tanah orang New Guinea umumnya meninggalkan jurang pemisah di kampung-kampung. Masyarakat laki-laki kaum pemburu sudah tidak melakukan pernburuan di areal permukiman karena kalender musiman sudah berubah
Laki-laki yang harusnya berburu sepanjang hari sesuai kalender musiman kini hanya duduk duduk menganggur, merokok dan mengunyah kacang. Sebagian lagi mendengarkan musik-musik berirama regae Pasifik. Namun berbeda pula pendapat antara generasi tua dan muda, Amba Kono seorang tua dari Komokpin Village memberi komentar lain, walaupun BHP mengeluarkan 15 juta dollar untuk masyarakat di kampung-kampung dalam bentuk gaji dan pembayaran setahun. “Keidupan sebelum adanya pertambangan jauh lebih baik ketimbang kehidupan sekarang ini,”kenang Kon.. Dia menegaskan kualitas air berubah dan sudah tidak bisa digunakan lagi oleh masyarakat di sini. “Dulu kami biasa berperahu menangkap ikan tetapi sekarang sudah tidak lagi. Kami makan burung dan babi jika bisa menangkapnya, “tutur Kono sedih. Perselihan antara BHP di pengadilan menuntut kompensasi akibat pencemaran di sungai Ok Tedi telah membawa perkembangan baru bagi dunia pertambangan di sana.

Kondisi ini hampir mirip dengan masyarakat Amungme dan Kamoro di Kota Timika masyarakat Amungme yang tadinya hidup di areak perburuan harus meninggalkan kehidupan nenek moyang dan tinggal bermain biliard dan mengkosumsi miras di Kota Timika. Bahkan ada cerita menarik ketika dana satu persen mencair banyak pria penerima uang itu menyetornya ke saku para pekerja seks di kilometer 10 sebuah lokalisasi terkenal di sana.
Apapun bentuknya baik dan buruk kalau pertambangan itu digunakan bagi kemakmuran masyarakat mungkin bisa diterima. Pasalnya setelah pasca tambang siapa yang akan memberikan jaminan akan bahaya yang timbul nanti? Saat ini Gunung Ertsberg di ketinggian 4000 meter di Provinsi Papua telah berubah menjadi danau yang disebut Danau Wilson guna mengenang pemimpin ekspedisi tahun 1960 itu. Namun yang jelas menurut mantan Vice Presiden Dr Bruce Marsh jangan khawatir tentang kota hantu (Ghost town) pasca tambang sebab semua itu sudah masuk dalam rencana pasca tambang. Kuta tunggu saja jangan sampai lokasi bekas tambang di seluruh tanah New Guinea membawa bencana dengan meminjam pepatah lama habis manis, sepah dibuang.

Sumber Bacaan :

1. Laporan Studi Mollusca di Kawasan Muara dan Pantai Mimika oleh Tim IPB Bogor, Faperta Uncend, YALI (Yayasan Lingkungan Hidup Irian Jaya) dan LBH ranting Timika.
2. Dr Wisnus Susetyo dkk. Dampak Kegiatan Pertambangan PT Freeport Indonesia Terhadap Komponen Lingkungan Biogesik dan Usaha-usaha Pencegahan Serta Penanggulangannya, Desember 1999.
3. Mampioper DA, Pertambangan Antara Berkat dan Bencana, Irja Post Nov 1999.
4. Mampioper Da, Qua Vadis Lingkungan Hidup di Tanah Papua, Irja Post Nov 1999.
5. Tempo, 1999.
6. Tempo, Oktober 2003.
7. Harian Pagi Kompas, 4 Oktober 1995.
8. Harian Sore Suara Pembaruan,20 Februari 1999.
9. Otonomi dan Lingkungan Hidup terbitan Komphalindo Jakarta 2001.
10. The New Guinea Handbook, 1943.
11. Grasberg, George A Mealey.
12. Tabloid Jubi edisi Oktober 2003.

Tidak ada komentar: